SAATNYA AYAH MENGASUH (FAMILY AND FITRAH BASED EDUCATION) Part 1
Oleh : Depy Eka Rachmawati
Seperti
yang kita ketahui bersama, bahwa anak merupakan tonggak estafet suatu bangsa.
Anak menjadi bagian dari generasi yang menentukan arah suatu peradaban. Dan
yang paling utama, anak adalah investasi dunia dan akhirat bagi orang tuanya.
Namun, dewasa ini kita menyaksikan begitu banyak problematika sosial yang
menimpa anak-anak kita. Mulai dari pergaulan bebas, penggunaan narkoba di
kalangan anak, hingga seorang anak yang telah tertimpa kasus sampai harus
berhadapan dengan hukum. Dilansir dari sebuah pemberitaan online, suara.com (Sulaiman, 2019), data dari Komisi Perlindungan
Anak Nasional menyebutkan bahwa sejak tahun 2011 hingga tahun 23 Juli 2019
sudah tercatat 11.492 kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Sedangkan
kasus anak terjerat masalah kesehatan dan NAPZA sebanyak 2.820 kasus,
pornografi dan cyber crime 3.323
kasus. Sepanjang 2019 hingga bulan Mei 2019, angka kasus anak sebagai pelaku
kekerasan seksual mencapai 102 kasus.
Setelah
melewati masa anak-anak, seseorang akan memasuki masa pra remaja kemudian masa
remaja, pada usia sekitar 13 -19 tahun (Hurlock, 1968). Masa perkembangan ini
dijelaskan secara detail dalam konsep perkembangan psikologi konvensional. Namun
Islam, tidak mengenal istilah remaja. Setelah melalui masa anak-anak, seseorang
akan masuk pada masa dewasa awal yang dikenal dengan istilah pemuda. Hal ini
ditandai dengan peristiwa aqil baligh, sekitar umur 13-15 tahun. Mari kita
cermati fenomena lainnya. Hingga tahun 2020, masih banyak kita temui
pemuda-pemuda kita yang belum paham arah hidupnya. Faktanya, hasil penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN)
menunjukkan sebanyak 87% mahasiswa di Indonesia mengaku salah jurusan, dilansir
dari iNews.id (Utama, 2020). Bukankah ini menjadi sebuah indikasi awal
ketidakpahaman arah dan tujuan hidup?
Fenomena
terakhir yang perlu disoroti dan dicermati adalah kemorosotan akhlak anak-anak
dan pemuda. Betapa kagetnya kita dengan pemberitaan di awal pandemi, demi viewer sebuah akun sosial media,
sekelompok pemuda melakukan prank
“sembako isi sampah” pada masyarakat. Sampai tahun 2020, sudah banyak kita
saksikan di televisi kasus anak yang membunuh orang tua kandungnya sendiri,
seorang siswa yang mencelakai gurunya. Dan dalam keseharian, betapa banyak kita
jumpai anak yang membangkang dan berkata kasar pada orang tuanya. Nampak sekali
bahwa sebagian generasi kita memiliki “penyakit” lemah akhlak atau akhlakless.
Dengan
mencermati beberapa fenomena di atas, tidakkah menggugah pikiran kita dan
menimbulkan pertanyaan, “Mengapa hal ini bisa terjadi?”. Jika terus kita
telusuri masalah ini, akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Bagaimana
orang tuanya mengasuh?”, “Ada apa dengan rumahnya?”. Tiga pertanyaan yang menjadi
dasar untuk menemukan solusi dari permasalahan generasi saat ini.
Semua
orang tentunya mendambakan generasi yang unggul, baik secara karakter maupun
intelektual. Tentunya pula keunggulan tersebut dibarengi dengan kekuatan pada
aqidah yang lurus. Ketiga keunggulan ini utamanya ditumbuhkan dan dibentuk
melalui sebuah pendidikan yang dikelola oleh keluarga, khususnya para orang
tua. Pendidikan sejati harusnya bukan sekadar memupuk fakta dan hafalan ataupun
sebatas pemahaman. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang bertujuan untuk
membangun akhlak mulia sebagai buah dari resultansi tumbuh subur dan bangkitnya
semua aspek fitrah pada diri anak. Dan implimentasi proses pendidikan ini dapat
dirancang melalui pola asuh keluarga.
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam menyebutkan, “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yang akan
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau majusi, sebagaimana halnya hewan
yang melahirkan anaknya tentu dalam keadaan utuh maka apakah kamu merasakan ada
cacat dalam tubuhnya.” HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa (no. 507). Artinya
setiap anak terlahir dengan fitrah yang telah terinstal dalam dirinya. Ustadz
Harry Santosa, dalam bukunya Fitrah Based
Education, menyampaikan bahwa setidaknya ada 8 fitrah yang melekat pada
setiap anak, yaitu fitrah estetika dan bahasa, fitrah bakat dan kepemimpinan,
fitrah perkembangan, fitrah individualitas dan sosialitas, fitrah keimanan,
fitrah jasmani, fitrah belajar dan bernalar, fitrah seksualitas dan cinta.
Kedelapan fitrah inilah yang semestinya ditumbuhkan oleh para orang tua,
melalui pola asuh yang berbasis penguatan fitrah. Sehingga apabila seseorang
telah tumbuh dengan kuat fitrah dalam dirinya, maka terjawablah solusi dari
permasalahan-permasalahan sosial yang ada pada generasi kita. Karena kunci dari
munculnya segala problematika generasi, ialah tidak mengenal fitrahnya sebagai
manusia. Sehingga hidup dijalani tanpa arah dan tujuan. Pertumbuhan fitrah
dalam diri individu sejalan dengan perkembangan kecerdasan moral dan emosi
ketika mereka tumbuh dewasa.
Hingga
saat ini, masih sering kita temui pola dalam masyarakat kita yang menyerahkan
tanggung jawab pengasuhan sepenuhnya kepada ibu. Dengan asusmsi, ibu
bertanggung jawab atas rumah dan seisinya, termasuk anak-anak dan ayah
menjalankan peran sebagai pencari nafkah. Padahal ayah adalah kepala keluarga
dalam sebuah rumah tangga. Dan ia memiliki peran sentral dalam urusan rumahnya
termasuk pendidikan anak-anak. Jika ibu adalah madrasah utama bagi anaknya,
maka ayah adalah kepala sekolahnya. Ayahlah yang merancang kurikulum pendidikan
di rumah dan peran ibu adalah sebagai pelaksana teknis. Artinya pengasuhan
merupakan kolaborasi antara ayah dan ibu sebagai pemilik institusi pendidikan
dalam rumah tangga, bukan upaya individual dari seorang ibu saja.
Komentar
Posting Komentar