PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM : HOME BASED EDUCATION SEBAGAI PENGUAT PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

 Oleh : Depy Eka Rachmawati


Anak merupakan tongkat estafet bangsa yang menentukan arah suatu peradaban. Anak yang sholeh/sholehah juga sebagai investasi dunia dan akhirat bagi orang tuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR Muslim). Namun, fenomena di sekitar menunjukkan banyaknya problematika sosial yang berkaitan dengan moral menimpa anak-anak. Dilansir dari sebuah pemberitaan online, data dari Komisi Perlindungan Anak Nasional menyebutkan bahwa sejak tahun 2011 hingga 23 Juli 2019 sudah tercatat 11.492 kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Sedangkan kasus anak yang terjerat masalah kesehatan dan NAPZA sebanyak 2.820 kasus, pornografi dan cyber crime 3.323 kasus. Sepanjang 2019 hingga bulan Mei 2019, angka kasus anak sebagai pelaku kekerasan seksual mencapai 102 kasus, suara.com (Sulaiman, 2019).

Pada kasus-kasus tersebut, tidak sedikit diantara mereka yang termasuk anak-anak yang mendapatkan pendidikan formal di sekolah-sekolah terbaik. Namun faktanya, dalam pendidikan formal konvensional saat ini, kita masih mengamati bahwa pendidikan lebih berfokus pada pengembangan aspek kognitif. Data dari Kemendikbud, pada tahun 2019 angka kecurangan siswa dalam Ujian Nasional (UN) mencapai angka 126 kasus, dilansir dari tirto.id (Abdi, 2019). Tahun 2017 sebuah pemberitaan online mengabarkan seorang siswi SMP nekat mengakhiri hidupnya karena nilai UN tidak sesuai harapan, sindonews.com (Karyati, 2017). Fenomena ini terjadi karena nilai (kognitif) lebih dihargai daripada moral (afektif). Sehingga semua dilakukan asalkan kemampuan kognitif mereka diakui oleh publik. Dampaknya adalah demoralisasi yang akhirnya membawa kerusakan pada masyarakat. Fenomena-fenomena tersebut menjadi indikator krisis, yaitu krisis sumber daya manusia, yang bermula dari krisis pendidikan, krisis keteladanan, dan krisis nilai-nilai agama. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini tentunya akan memunculkan pertanyaan berikutnya, terkait bagaimana dengan proses pendidikannya baik di sekolah maupun di rumah? Pertanyaan yang menjadi kunci untuk menemukan solusi dari permasalahan generasi saat ini.

Tujuan pendidikan nasional yang tertulis dalam UU Nomor 20 tahun 2003 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan harusnya bukan sekadar memupuk fakta dan hafalan ataupun sebatas pemahaman. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang bertujuan untuk membangun akhlak mulia sebagai buah dari resultansi tumbuh subur dan bangkitnya semua aspek fitrah pada diri anak (Santosa, 2018). Artinya, pendidikan merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus yang hasilnya termanifestasi dalam perilaku terhadap alam sekitar, intelektual, emosional, dan kemanusiaan. Pendidikan tidak sebatas kognitif (intelektual), namun juga afektif (moral).

Mengamati fenomena yang terjadi belakangan ini, menjadi titik krusial untuk memperkuat peran keluarga dalam pendidikan anak-anaknya. Keluarga menjadi bagian dari tiga institusi pendidikan selain sekolah dan masyarakat. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak. Karena keluarga, terutama orang tua adalah lingkungan serta orang yang pertama kali dikenal oleh anak, sehingga pendidikan dasar merupakan tanggung jawab orang tua (Chadidjah dkk, 2009). Jika dibandingkan dengan sekolah atau masyarakat, keluarga menjadi sebuah lembaga pendidikan yang sangat esensial bagi anak. Sebab dalam keluarga, anak akan banyak belajar tentang norma dan nilai (Falah, 2014). Dengan demikian, orang tua tidak dapat melepaskan peran krusialnya dalam mendidik anak dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada pihak sekolah.

Pada penelitian Vinayastri (2017), urgensi pendidikan berbasis keluarga dikuatkan dalam Al-Qur’an Surah At-Tahrim (66): 6, “Hai Orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka, yang bahan bakamya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras, lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan diperintahkan". Dalam sebuah hadist juga disebutkan, Kewajiban orang tua kepada anaknya ialah memberi nama yang baik, mendidik sopan santun dan mengajari tulis menulis, renang, memanah, memberi makan dengan makanan yang baik serta mengawinkannya apabila ia telah mencapai dewasa (HR. Muslim). Ayat dan hadist tersebut menjadi peringatan keras untuk memperkuat peran keluarga, terutama orang tua dalam pendidikan anak-anaknya.

Islam mengakui urgensi keluarga dalam proses pendidikan dan memberikan sebuah konsep pendidikan berbasis keluarga, yang melibatkan peran ayah dan ibu sebagai pendidik utama di madrasahnya anak-anak, yaitu rumah. Konsep ini dapat kita sebut sebagai Home Based Education (HBE). Dalam penerapan konsep ini, kurikulum pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan keluarga. Home based education sebagai alternatif orang tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai keimanan (agama), dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak serta menggali potensi yang dimiliki oleh anak (Razi, 2016).

Aplikasi home based education dalam Al-Qur’an adalah melalui pendekatan dialog antara orang tua dan anak. Dalam Al-Qur’an terdapat 14 dialog antara ayah dan anak, seperti dialog Luqman Al Hakim dengan anaknya dalam QS. Luqman ayat 12-19, Nabi Ibrahim dengan anaknya, Nabi Ismail, dalam QS. As-Saffat ayat 103, dialog nabi Nuh dengan anaknya dalam QS. Hud ayat 42-43, dan lain-lain. Dua dialog ibu dan anak, terdapat dalam QS. Maryam ayat 23-27 dan QS. Al-Qashash ayat 11 serta sebuah dialog kedua orang tua dengan anaknya seperti dalam QS. Al-Ahqaf ayat 17 (Vinayastri, 2017). Melalui dialog, akan timbul attachment antara orang tua dengan anak, sehingga proses transfer nilai-nilai dan proses pembentukan karakter anak akan berlangsung optimal (Sari dkk, 2018). Dialog juga menjadi jalan orang tua untuk menumbuhkan aspek fitrah kemanusiaan yang telah Allah titipkan pada anak, untuk memberikan nasihat dan keteladanan dari orang tua pada anak, memberikan rangkaian penugasan dalam rangka membentuk karakter bertanggung jawab, resiliensi, dan integritas pada anak, serta sebagai jalan orang tua, khususnya ayah untuk mentransfer visi pada anak- anaknya.

Mengingat problematika yang terjadi pada anak-anak dan ketidakselarasan antara fungsi dan tujuan pendidikan nasional dengan realita pendidikan formal konvensional saat ini, maka konsep home based education yang dirancang berdasarkan pola pengasuhan dalam perspektif Islam dapat menjadi penopang inti dari pendidikan formal anak-anak. Mengembalikan sebagian besar peran pendidikan kepada orang tua di rumah, serta memperkuat aspek fitrah dan karakter anak-anak dari rumah, merupakan bagian dari solusi problematika generasi dan pendidikan formal konvensional saat ini. Sehingga anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang kuat secara intelektual, karakter, dan spiritual dari rumah (strong from home) dan siap menghadapi tantangan eksternal ketika berada di luar rumah.


Daftar Pustaka

 

Abdi, Alfian Putra. (2019). “Kemendikbud Catat 126 Kecurangan Selama Ujian Nasional 2019” (online), (https://tirto.id/kemendikbud-catat-126-kecurangan-selama-ujian-

nasional-2019-drNd, diakses tanggal 25 Oktober 2020).

 

Asfiyah, Wardatul dan Ilham, Lailul. (2019). Urgensi Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Hadist dan Psikologi Perkembangan. Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, Vol. 16: 1-20.

Chadidjah, Chasiyah, dkk. (2009). Perkembangan Peserta Didik. Surakarta: UNS Press.

Falah, Saiful. (2014). Parents Power Membangun Karakter Anak Melalui Pendidikan Keluarga. Jakarta: Republika Penerbit.

Hurlock, Elizabeth B. (1968). Development Psychology Life-Span Approach, Fifth Edition.

Istiwidayanti dan Soedjarwo. (1991). Jakarta: Penerbit Erlangga.

 

Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003. LN No. 155 Tahun 1960.

Karyati, Endah Budi. (2017). “Hasil UN Jelek, Siswi SMA Nekat Gantung Diri” (online), (https://daerah.sindonews.com/berita/1210307/22/hasil-un-jelek-siswi-sma-nekat- gantung-diri/10, diakses tanggal 27 Oktober 2020).

Rahayu, Mulia. (2016). Konsep Fitrah Manusia dalam Al-Quran dan Implikasinya Dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Pusaka, Vol. 7: 1-12.

Razi, Achmad. (2016). Homeschooling: an Alternative Education in Indonesia. International Journal of Nusantara Islam, Vo. 4: 75-84

Santosa, Harry. (2018). Fitrah Based Education Version 3.5. Bekasi: Yayasan Cahaya Mutiara Timur.

Sari, Suci Lia, ika Devianti, dan Nur’aini Safitri. (2018). Kelekatan Orang Tua Untuk Pembentukan Karakter Anak. Educational Guidance and Counseling Development Jounal, Vol. 1: 17-31.

Sodikin. (2017). “Anak Shalih Investasi Dunia Akhirat” (online). (https://www.islampos.com/anak-shalih-investasi-dunia-akhirat-35616/, diakses tanggal 28 Oktober 2020).

Sulaiman, M.Reza. (2019). “Anak Berhadapan Dengan Hukum tertinggi Poter Buram Perlindungan       Anak   di                                         Indonesia”          (online), (https://www.suara.com/health/2019/07/23/071000/anak-berhadapan-dengan-hukum- potret-buram-perlindungan-anak-di-indonesia?page=all, diakses tanggal 7 Oktober 2020).

Taubah, Mufatihatut. (2015). Pendidikan Anak Dalam Keluarga Perspektif Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 03: 110-136.

Ulfa, Khoiriyah. (2015). Peran Keluarga Menurut Konsep Perkembangan Kepribadian perspektif Psikologi Islam. Jurnal Al-AdYaN, Vol. 10: 123-140.

Vinayastri, Amelia. (2017). Negeri Tanpa Ayah Pendidikan Berbasis Keluarga. Jurnal Pendidikan PAUD, Vol. 2: 71-83.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOTERAPI ISLAM : TEORI DAN PRAKTIK MENGATASI GANGGUAN KEJIWAAN

MENGAPA KITA BISA INSECURE?

MENGENAL ISTILAH TOXIC PARENTING DAN PENGARUH POLA ASUH TERHADAP PSIKOLOGIS ANAK