MENGENAL ISTILAH TOXIC PARENTING DAN PENGARUH POLA ASUH TERHADAP PSIKOLOGIS ANAK
Pemateri : Dr. Sri Lestari, S.Psi., M.Si
Apa
itu Toxic Parenting?
Toxic parenting
adalah pengasuhan yang diwarnai dengan perilaku buruk, melakukan tindakan yang
meracuni kondisi psikologis anak, seperti kekerasan fisik atau verbal. Perbuatan
yang termasuk perbuatan toxic parenting yaitu
ekspektasi berlebihan pada anak, membicarakan keburukan anak, egois, menjadi
monster, menjadi rentenir, melontarkan candaan yang mengecilkan hati anak, dan
selalu menyalahkan anak.
Mengapa
munculnya istilah toxic parenting menjadi
populer?
Diawali
dengan adanya fenomena yang ada dimasyarakat yaitu perilaku marah yang
dilakukan oleh ayah atau ibu yang dilakukan secara konsisten dan cukup berat kepada
anak. Selain perilaku marah juga perilaku menghukum, sebenarnya hal itu sesuatu
yang wajar tetapi yang membedakan disini yaitu kadar hukumannya yang terlalu
tinggi dan konsisten kepada anak bahkan perilaku kesalahan anak yang dianggap
kecil namun dihukum dengan hukuman yang cukup berat bagi anak. Hal itu akan
mempengaruhi psikis anak atau menjadi racun kepada anak. Pola perilaku negatif
yang konsisten kepada anak dan menjadi hal yang dominan maka menjadi racun jika
intensitas dan frekuensinya berlebihan.
Pengasuhan
Beracun
Ada tiga macam pola pengasuhan yang
dilakukan orang tua kepada anak, yaitu :
1. Pageant parent,
yaitu dengan membanggakan anak atas prestasi yang dimiliki anak, orang tua
memaksa anak-anaknya untuk mengikuti apa yang disampaikan orang tuanya dan
menuntut kepada anak apa yang diharapkan oleh orang tua kepada anak.
2. Dismissive parent,
yaitu dengan meremehkan anak dan menganggap anak tidak penting. Anak masih mendapatkan
kebutuhan secara fisik dan orang tua tetap bersama dengan anak tetapi anak
kurang mendapatkan kasih sayang, kurangnya kelekatan dengan anak, dan lain
sebagainya yang disebabkan oleh orang tua lebih fokus pada dirinya sendiri. Orang
tua hanya memberikan yang menurut orang tua harus memberikan namun tidak
melihat sesuatu yang dibutuhkan anak.
3. Contemptuous parent, yaitu
dengan menghina dan merendahkan anak. Orang tua dalam pengasuhan ini sebagai juri
dan penilai untuk semua perilaku, kebutuhan, keinginan, dan mimpi anak. Meremehkan
dan menghina usaha yang telah dilakukan oleh anak. Anak-anak tidak mendapatkan
apresiasi atas capaian yang dicapai, padahal hal yang dilakukan anak cukup luar
biasa. Misalnya, anak mendapatkan nilai 80 di sekolahnya, orang tua tidak
memberikan apresiasi kepada anak justru merendahkan anak karena tidak
mendapatkan nilai 100. Semua hal yang dilakukan oleh anak tidak dihargai orang
tua dan perilaku anak selalu dianggap salah oleh orang tua.
Dampak
Pengasuhan yang Buruk atau Beracun
Perilaku
orang tua yang beracun dapat dilakukan oleh ayah atau ibu. Perilaku dengan
pengasuhan yang buruk akan memiliki dampak yang buruk juga kepada anak. Bahkan
pada saat bayi akan mempengaruhi perkembangan otak, apalagi anak pada masa perkembangan
atau masa keemasan, perkembangan psikologis tidak terbentuk dengan baik,
kelekatan antara orang tua dan anak tidak terbentuk dengan baik. Pada masa
anak-anak akan berdampak pada perkembangan psikologis bermasalah dapat berupa
tidak percaya diri dan tidak yakin pada potensi yang dimiliki. Selain pada
psikologis juga berdampak pada hambatan belajar, anak menjadi rendah diri dalam
relasi sosial atau juga bisa tampil seperti jagoan yaitu memecahkan masalah
dengan kekerasan yang disebabkan karena melihat orang tuanya melakukan
kekerasan terhadap anak yang akan menjadikan hal tersebut dicontoh oleh anak
dan diterapkan pada relasi sosial.
Dampak
pada dewasa pada anak yang mendapatkan pengasuhan yang beracun seperti mengalami
emosi yang bertentangan, yaitu merasakan cinta atas yang dilakukan orang lain
tetapi disisi lain adanya rasa benci karena adanya perlakuan yang buruk oleh
orang tua. Jika sudah menjadi orangtua, kurang responsif kepada kebutuhan
anaknya sebab orang tua itu belum terselesaikan masalahnya atas perlakuan orang
tuanya dulu terhadapnya. Apabila sudah menjadi orang tua juga dapat memperlakukan
hal yang kurang baik kepada anaknya karena dia diasuh seperti itu ketika sedang
masa anak-anak. Jika orang tua yang masa anak-anaknya mendapat perlakuan yang
kurang baik oleh orang tuanya maka bisa memperlakukan anaknya sama seperti
pengasuhan yang didapatkannya, tetapi bisa juga tidak mendidik anak sama
seperti yang dilakukan orang tuanya terhadap dirinya. Hal itu disebabkan oleh
seseorang itu telah menyadari dan belajar untuk tidak mengulangi pola asuh yang
salah kepada anaknya.
Kelekatan
sebagai Pondasi Hubungan
Idealnya
orang tua dapat membangun kelekatan dengan anak namun jika masalah orang tua
sendiri belum terselesaikan maka kelekatan tersebut kurang bisa dibangun dengan
anak. Untuk membangun kelekatan dengan anak dapat dilakukan oleh ayah dan ibu. Ayah perlu
dapat terlibat dalam pengasuhan sedini mungkin bahkan mulai saat anak masih di
kandungan, setelah sudah lahir, ayah dapat mengajak anak untuk melakukan
kebersamaan, mendampingi anak, mengajarkan ngaji, dan lain sebagainya. Ayah
dapat menjadi sahabat ketika anak mengalami masalah, adanya keterbukaan pada
ayahnya yang menjadikan adanya kelekatan yang terbangun dengan baik antara ayah
dan anak. Begitu pula dengan ibu, dapat dibangun dengan menemani bermain, masak
di dapur, belajar ngaji, dan lain-lain. Maka ketika remaja, anak dapat terbuka
kepada ibunya dan lebih nyaman berbicara kepada ibunya daripada temannya.
Sebaliknya jika kelekatan ibu kurang maka anak lebih nyaman bercerita kepada
teman. Selain itu, dapat melakukan kegiatan antara orang tua dengan anak secara
bersama-sama.
Pola
Pengasuhan pada Anak
Pengasuhan
memiliki dua dimensi yaitu kontrol dan ketanggapan. Kontrol dan ketanggapan yang
tepat dapat memunculkan eksplorasi oleh anak, belajar, dan tumbuh dalam
lingkungan cinta, keamanan, dan perlindungan. Ada kombinasi antara kontrol dan
ketanggapan, yaitu sebagai berikut :
1. Otoritatif,
pola pengasuhan otoritatif memiliki control atau tuntutan dan penerimaan atau tanggapan
yang tinggi. Tuntutan masih realistis sesuai dengan kompetensi yang dimiliki
anak, anak mendapatkan apresiasi yang diberikan orang tua ketika anak mencapai
sesuatu, dan orang tua membesarkan hati anak ketika gagal. Orang tua memiliki
kepekaan kepada anak dan memiliki penerimaan yang baik kepada anak.
2. Otoriter,
pola asuh yang otoriter memiliki tuntutan tinggi dan penerimaan rendah. Orang
tua kurang peka dan paham kepada anak, ortu banyak mengatur dan anak tidak
memahami aturan itu karena tidak ada penjelasan. Anak juga dituntut untuk patuh
pada perintah yang disampaikan oleh orang tua.
3. Permisif,
pola pengasuhan ini mempunyai penerimaan tinggi dan tuntutan yang rendah yaitu
anak melakukan hal baik maupun buruk diterima. Karena tidak ada aturan yang
mengikat dan anak melakukan suatu hal sesuai keinginan dan kemanuannya. Dengan
hal ini anak tidak mengetahui mana yang salah dan benar karena tidak ada
penjelasan kepada anak.
4. Tak
Peduli, pola pengasuhan tak peduli ini dengan penerimaan dan tuntutan yang
rendah. Sedikit aturan dan tuntutan, orangtua tidak peduli dan tidak peka pada
kebutuhan anak.
Keseimbangan
Dimensi Pengasuhan
Orang
tua tidak mungkin menggunakan satu gaya pengasuhan, namun menggunakan gaya-gaya
pengsuhan secara fleksibel. Dapat melakukan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan
anak , dapat menyesuaikan dengan hubungan dengan anak yaitu hubungan timbal
balik. Perilaku orang tua dapat mempengaruhi perilaku anak dan sebaliknya
perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orang tua. Apabila masih kanak-kanak
dapat menggunakan pola pengasuhan yang otoriter seiring anak bertumbuh maka
gaya pengasuhan dapat menjadi otoritatif.
Komentar
Posting Komentar