Kamu Tertarik Childfree? Yuk, Pahami Dulu!
https://images.app.goo.gl/n4pReht263UrP3ydA
Oleh: Dinda Nur Salsabila
Dewasa ini, peradaban manusia semakin kompleks. Dinamika kehidupan manusia yang terus berjalan beriringan dengan perubahan sosial membawa manusia semakin beragam dalam arah pandang hidupnya, salah satunya adalah fenomena mengenai tentang childfree. Childfree merupakan keputusan antara suami-istri untuk tidak memiliki anak sesuai dengan kehendak dan kesepakatan antar pasangan. Sebenarnya pembahasan childfree ini sudah umum dibicarakan oleh banyak negara barat sejak beberapa tahun lalu. Istilah childfree mulai berkembang di akhir abad ke-20. Namun, dari segi sejarah, fenomena ini sudah ada sejak tahun 1930-an di Amerika Serikat sebagai akibat dari kehidupan pada masa Great Depression atau Malaise Crisis yang tidak hanya menyebabkan kesulitan ekonomi, tetapi juga beban psikologis di masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengamankan masa depannya mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak.
Pembicaraan ini mulai panas dibicarakan ketika salah satu influencer Indonesia, Gita Savitri mendeklarasikan bahwa dia dan sang suami memutuskan untuk childfree karena beberapa faktor. Sontak reaksi masyarakat Indonesia yang memiliki kultur kolektif kaget dan beramai-ramai mencemooh atau hanya sekedar mengkritisi pemikirannya yang dinilai terlalu ‘barat’. Berawal dari Gita Savitri, akhirnya banyak influencer yang mulai menyuarakan keinginan mereka untuk childfree.
Bila dilihat dari perspektif hak asasi manusia, sebenarnya tidak ada larangan bagi seseorang untuk melakukan childfree karena setiap individu memiliki hak untuk memutuskan bagaimana dia akan hidup. Manusia memiliki kuasa untuk memutuskan segala sesuatu, termasuk apa-apa yang menyangkut taraf hidupnya. Dan, kita sebagai manusia harus menghormati dan menghargai prinsip hidup orang lain.
Psikologi memandang Childfree
Dalam psikologi, fenomena childfree adalah kebebasan dan hak masing-masing dari pasangan yang sudah menikah. Psikologi memandang childfree dengan banyak konsep, seperti innerchild yang belum terselesaikan karena luka masa lalu, adanya perasaan ketidakberdayaan dalam mengurus anak, hingga tanggung jawab untuk menjadi oran tua.
Dalam Teori Making Decision, keputusan dalam memilih childfree tidak dilakukan dengan tiba-tiba karena ada proses di dalam pengambilan keputusan tersebut. Dalam model ini terdapat beberapa langkah yang diberikan oleh Simon, yang meliputi menganalisa masalah (intelligence), menemukan, mengembangkan, dan menganalisis kemungkinan prosedur (design), memilih tindakan atau solusi tertentu yang ada (choice), dan mengevaluasi pilihan sebelumnya (revision).
Dari teori di atas, ada proses yang menyebabkan seseorang memilih untuk melakukan tindakan childfree. Dimulai dari menganalisa masalah yang dimiliki, tentu individu tersebut menyadari masalah yang mereka alami, baik itu trauma masa lalu atau ketidaksiapan dalam menjalankan peran orang tua. Kemudian individu tersebut mencari solusi atau alternatif lain untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah masalah tersebut sudah diselesaikan, individu tersebut akan mengevaluasi apakah tindakan dan keputusan yang dia buat tepat atau tidak. Kepada pasangan yang memutuskan untuk melakukan childfree, apakah mereka akan tetap memilih childfree selamanya ataukah nantinya mereka berubah pikiran itu adalah urusan dari hasil pemikiran mereka.
Lalu, bagaimana Islam memandang soal childfree?
Islam hadir tidak hanya sebagai sebuah agama tetapi juga falsafah hidup manusia. Tentu sudah pasti mengatur semua tatanan hidup manusia dalam Al-Quran dan Hadist sebagai solusi dan jawaban dari persoalan zaman yang kian kompleks, termasuk tentang childfree yang banyak dibicarakan warganet akhir-akhir ini.
Memiliki keturunan adalah sebuah anugerah. Tujuan dari adanya pernikahan adalah memiliki keturunan yang salih. Bahkan, dalam Islam sangat menganjurkan untuk memiliki banyak keturunan sehingga tren childfree tentunya tidak sesuai dengan ajaran. Dalam sebuah riwayat dari Imam Bukhari dalam kitabnya berjudul Adabul Mufrad (no. 653), mengatakan bahwa Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya: “Ya Allah! Banyakanlah hartanya dan anaknya, dan panjangkanlah umurnya dan ampunkanlah ia.” (Hadist ini Hasan). Selain itu, riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat.” (H.R Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik).
Namun, daripada itu semua, hukum dari tindakan childfree tergantung dari bagaimana sudut pandang yang digunakan. Secara fiqh, memiliki keturunan itu hukumnya sunnah, sedangkan tidak memiliki keturunan adalah makruh. Tapi perlu diingat bahwa Islam sangat menganjurkan setiap pasangan suami-istri untuk memiliki keturunan demi menghasilkan generasi yang salih.
Referensi:
Rahmania, F., Zhafira, A. S., Arisa, N. P., Putri, N. N. (2024). Fenomena Childfree Ditinjau dari Sudut Pandang Psikologi dan Islam. Jurnal Psikologi Islam. 15(1), 19-31. http://dx.doi.org/10.15548/6490
https://almanhaj.or.id/2258-islam-menganjurkan-umatnya-untuk-mempunyai-banyak-anak.html
https://www.republika.id/posts/14009/memiliki-anak-dalam-islam-wajibkah
https://ntb.kemenag.go.id/baca/1676942580/ramai-tentang-childfree-bagaimana-childfree-dalam-perspektif-islam
Komentar
Posting Komentar