Memaknai Manusia Sebagai Makhluk yang Berakal dan Berkeyakinan
Oleh: Bidang Intelektual
Menerawang
dari pusat diri tentang dasar sebuah keberadaan, apakah sesuatu itu berarti
menjadi layak jika diberi label baik atau memang semua hal diciptakan baik dan
berada dalam jangkauan akal? Bentuk dari kebermanfaatan diri adalah ketika
seseorang mampu mengetahui bagaimana dirinya berguna bagi sosial dan
berkontribusi atasnya, maka hal itu yang disebut sebuah keharmonian. Hakikat jati
diri manusia akan muncul ketika dapat menjadi tangguh dengan melewati strom and strees. Supaya manusia dapat mengaktualisasi diri,
maka diperlukan kacamata baru dalam mengartikan sebuah peristiwa sehingga tidak
menjadi pribadi yang mudah goyah akan trend-trend yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai masyarakat maupun agama.
Manusia
adalah makhluk yang memiliki struktur kompleks dalam menopang dan menjadikannya
hidup. Dua hal yang menjadikan manusia itu hidup yaitu fisiologi sebagai
sesuatu yang jelas dan psikologis sebagai alat kontrol diri. Jasad adalah hal
yang membentuk sebuah perilaku dan manifestasinya, bersifat seperti besi yang
dapat bergerak dan mengikuti gerakan magnet (pikiran). Psikologis yang diuraikan menjadi perilaku,
proses mental, fungsi mental dan tentunya akal manusia. Akal yang merupakan sebuah
subtansi yang ada pada manusia, sesuatu yang diterjemahkan oleh perilaku dan mental.
Akal menjadi hal pokok dalam memahami kebenaran yang ada, sebagai penahan nafsu
dan keinginan yang mucul bebas pada setiap keinginan. Sesuatu hal kurang tepat
bila memahami akal sebagai alat yang
berfungsi untuk merasionalkan dan mematerialiskan sesuatu, namun akal adalah hal bersifat ilahi dan spiritual
yang memunculkan sebuah intuisi. Secara garis besar manusia adalah makluk yang
baik secara fisik maupun secara pola piker. Sebuah keajaiban yang rahasia dengan
pikiran yang dapat melakukan ergonomi terhadap fisiknya menjadi sebuah
keniscayaan bahwa manusia adalah makhluk paripurna dengan akalnya.
Sebagai
makhluk yang bebas dan dengan leluasa menetukan pilihan, manusia dapat dengan
mudah melukiskan apa yang menjadi keinginannya, termasuk sifat yang nantinya
melekat pada dirinya. Fitrah adalah hakikat dari sifat manusia dalam bersosial
dan faal, maka yang menjadikan mereka berwarna adalah lingkungan dan sosial
terdekat, termasuk dalam hal ketimpangan. Dalam hal lain mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang tidak bermoral dan berinisiatif menggunakan akalnya
untuk membentuk peraturan untuk meregulasi diri agar terhindar dari sifat negatif
yang tertanam pada diri. Akal dan jiwa adalah komponen saling mengikat pada
tubuh dan kebutuhan manusia terproyeksi oleh sifat. Manusia adalah aktor pada
dirinya masing-masing, yang diberi anugerah free will dan free act, serta
menjadi pribadi individualis untuk sebuah keyakinan dan capaian. Dengan
predikat bebas pada diri membuat manusia terjebak pada kehampaan. Kehampaan yang
tercipta dari gaungan kebingungan atas identitas dan fungsi diri, apakah
manusia tercipta atas sebuah proses organik belaka, dari tanah menuju ke tanah?
Menjadi
makhluk yang kaffah adalah tujuan dari kehidupan manusia yang mengetahui
tugas kenapa dia diciptakan dan hadir di alam semesta ini. Dengan segala
kemampuan dan kapasitasnya, maka manusia dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki.
Hakikat manusia adalah memahami asal usul dia diciptakan dan siapa yang
menciptakan. Dengan demikian manusia akan mengetahui tugas dari kehidupannya.
Tidak mungkin sesuatu muncul tanpa ada sebab musababnya. Di hadirkan pada
sebuah alam yang terpijak dengan hamparan karunia dan diatapi langit keesaan,
hadirnya diri sebagai perawat semesta yang luas dengan kesyukuran dan sempit
atas keserakahan diri. Apa yang ada disekitar adalah jawaban dari kenapa manusia
diciptakan, yaitu merawat, memahami dan bersosial.
Zoon
politicon adalah konsep yang tepat untuk
mengistilahkan manusia dari pemahaman awal tentang ketinggian derajat manusia
atas makhluk lain yang didasari pada kepemilikan dan penggunaan akal. Manusia yang nyatanya adalah hewan yang diberi akal
untuk memahami dan merenungi kehidupannya dan lingkungan sekitarnya. Dalam
proses hidup adanya sebuah sistem sosial di yang berlaku di dunia ini, manusia
tidaklah hidup dalam kesendirian namun dengan berbagai simbiosis yang ada,
beranekaragam sifat, karakter dan fisik. Diatas kita memahami bahwa manusia
tercipta dari susunan yang kompleks, hal tersebut juga berlaku pada kebutuhan
setiap manusia. Betapa sebuah keinginan ingin direalisasikan namun terasa berat
karena perlu mempelajari semuanya sendirian serta memerlukan waktu yang lama
dalam berproses, padahal hal tersebut merupakan sesuatu hal krusial yang manusia
lakukan sehari-hari. Maka dari itulah manusia menjadi sebuah makhluk yang
memiliki ketergantungan terhadap sesame, bahu membahu memaksimalkan potensi
diri untuk saling menjunjung dan hidup di dunia.
Manusia
adalah microcosmos atau miniatur semesta yang merefleksikan segala
mineral, kebutuhan segala sesuatu yang hadir pada semesta ini. Manusia adalah
poros jalan yang menyajikan masa depan dengan segala kemauannya, dari segala
yang tercermin dan sebagai roda gerak dunia ini. Manusia patut menyandang amanah
yaitu takdir kehidupan. Menjadi manusia adalah sebuah ketetapan, tetapi menjaga
kemanusiaan kita adalah pilihan. Banyak konsekuensi yang lahir atas tujuan yang
dipilih begitu halnya dengan ketika manusia tidak dapat memilih pilihan yang
ada.
Batasan
kehidupan berupa akal yang berbudi luhur yang senantiasa mengingatkan manusia
akan fitrah diri yang suci dan baik. Tidak ada salahnya menjalani hidup. Namun segala
sesuatu ada konsekuensinya. Apa yang ditanam berbuah sesuai dengan biji sifat
dan kelakuan diri. Dengan mengetahui moralitas manusia juga sama saja berpegang
pada tuas rem nafsu. Apabila manusia masih meyakini diri akan kehidupan sosial
maka perlunya memiliki keyakinan akan etika dan norma. Sebuah kebebasan
bukanlah sebuah tujuan utama dalam hakikat diri manusia, namun kebebasan adalah
laju sebuah poros yang jika tidak dikontrol yang akan jatuh pada kehampaan
diri, hilang cita-cita, serta hilang tujuan. Berdasarkan hasil penelitian
Harahap (2020) dapat diketahui bahwa dari 300 orang mahasiswa yang dijadikan
sampel penelitian, terdapat sebanyak 39 mahasiswa (13%) yang memiliki tingkat
stres akademik kategori tinggi, sebanyak 225 mahasiswa (75%) memiliki tingkat
stres akademik pada kategori sedang, dan sebanyak 36 mahasiswa (12%) memiliki
tingkat stres akademik yang berada pada kategori rendah. Dilihat dari generasi
mudanya, masih banyak yang bermental lemah dan kurang memahami akan makna diri.
Kebermaknaan
diri adalah makna khusus yang dijadikan tujuan hidup. Secara teoritis
kebermakanaan diri yaitu ketercukupan fisiologis dan psikologi yang dihasilkan
dari ketersinambungan kehidupan yang baik dan mensyukuri serta meyakini setiap
apa yang dilakukan. Setiap orang memiliki sebuah kebermaknaan hidup
masing-masing, namun yang perlu dipahami adalah kebermaknaan hidup muncul
ketika kita mengetahui tugas kehidupan dunia dan pemenuhan kebutuhan diri.
Dengan dua rumusan tersebut didampingi dengan spiritualitas dapat mengangkat
kualitas hidup yang awalnya sekedar bersinggah dalam suatu perjalanan menjadi pengabdian
diri yang abadi dan kembali menjadi fitrah diri masing-masing. Disetiap hidup
terdapat optimistis diri yang tercermin denggan kualitas hidup yang baik dan
memiliki tujuan hidup. Tercapainya
kualitas hidup yang baik merupakan salah satu anggapan manusia bahwa dengan capaiannya
akan membawa pada kebahagiaan yang hakiki.
Kebahagiaan
dari kacamata barat adalah ketika segala kebutuhan tercukupi seperti teori hierarchy
of needs milik Maslow yang berpegang pada tercapainya aktualisasi diri akan
membawa pada kebahagiaan. Namun sejatinya kebahagiaan dalam kacamata Islam
lebih indah dari itu, seperti yang diungkapkan oleh Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu
Tufail, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa kebahagiaan akan hadir ketika
seseorang dapat sampai pada mengenal Allah atau makrifat Allah. Kebahagiaan
tidak hanya sekedar terpenuhinya kebutuhan, baik jasmani maupun inderawi, namun
segala kebahagiaan abadi diatas segala kenikmatan duniawi (Arroisi, 2019).
Dalam Q.S. Al-Imran ayat 186:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”
Mengenal
Allah SWT mengantarkan pada kebahagiaan yang hakiki. Dari ayat tersebut dapat
dimaknai bahwa Allah SWT itu dekat tidak ada batasan baik ruang maupun waktu. Manusia
dapat kapanpun dan dimanapun mengingat dan mengenal-Nya karena sesungguhnya
manusia akan kembali pada-Nya.
Sumber
Referensi :
Rumi, J. (2023). Fihi
ma fihi. Penerbit Kakatua.
Faiz, F. (2020). Menjadi
Manusia Menjadi Hamba. Noura Books.
Dahlan, A. A. Fungsi
Akal Dalam Tasawuf Al-Ghazâlî (Master's thesis, Jakarta: Fakultas
Ushuluddin Dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah).
Khomaeny, E. F. F.
(2019). ISLAM DAN IPTEKS:(Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III). EDU
PUBLISHER.
Arroisi, J. (2019). Bahagia
dalam Perspektif al-Ghazali. Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam, 17(1), 89-103.
Harahap, A. C. P.,
Harahap, D. P., & Harahap, S. R. (2020). Analisis tingkat stres akademik
pada mahasiswa selama pembelajaran jarak jauh dimasa Covid-19. Biblio
Couns: Jurnal Kajian Konseling dan Pendidikan, 3(1), 10-14.
Komentar
Posting Komentar