Restrukturisasi Jiwa Pasca Pandemi
Oleh: Shafaa Azka Indradi
Badai pandemi COVID-19 telah berlalu. Meski demikian, kekacauan yang menyertainya belum sepenuhnya teratasi, termasuk pula kerisauan yang dirasakan oleh masyarakat. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah kondisi psikologis masyarakat pasca COVID-19. Dikutip dari Kompas.id bahwa telah dilakukan survei oleh World Health Organization (WHO) yang menunjukkan permasalahan psikologis di banyak negara tahun 2021, “Terdapat sejumlah 75% responden terdampak permasalahan psikologis. Data menunjukkan bahwa permasalahan cemas yaitu 7,17% dari 5.030 responden, depresi 72,9% dari 6.644 responden, trauma psikologis 84% dari 2.113 responden, dan permasalahan bunuh diri sebanyak 85,1% dari 1.201 responden dan 36% persen darinya telah memiliki intensi atau siap untuk bunuh diri”.
Data tersebut menunjukkan adanya permasalahan psikologis yang tinggi pada masyarakat karena pandemi. Tidak dapat di pungkiri bahwa pandemi secara drastis mengubah pola hidup kita, terutama keharusan untuk isolasi diri secara fisik dan mental, serta menutup interaksi secara langsung dengan lingkungan sosial yang sebenarnya sedikit banyak mempengaruhi psikologis terhadap individu.
Isolasi diri yang digencarkan demi memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19 justru berdampak pada respon individu pada pandemi itu sendiri di- mana individu lebih rentan mengalami kesepian, kecemasan, serta ketidakpastian akan hal yang terjadi. Hal tersebut akan meningkatkan munculnya kecemasan berlebih (anxiety) atau bahkan depresi.
Menurut para ahli, depresi sendiri merupakan gangguan emosi atau mood dari kesedihan yang berkepanjangan, keputusasaan, rasa bersalah, dan ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, semua proses mental (pikiran, emosi, dan perilaku) dapat mempengaruhi motivasi untuk bergerak dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hubungan interpersonal (Dirgayunita, 2016).
Pada sisi lain, faktor ekonomi yang menurun juga berpengaruh pada kondisi psikologis individu. Di kutip dari Kompas.id, “Sebagian besar negara maju bahkan terjebak dalam resesi yang dalam. Hal yang sama berlaku untuk negara-negara berkembang, terutama negara-negara miskin”. Beberapa kebijakan yang secara mendadak diterapkan meningkatkan resiko depresi di Indonesia, seperti PHK besar-besaran yang berdampak pada perekonomian keluarga dan meningkatnya harga bahan-bahan pokok. Munculnya fenomena panic buying menjadi salah satu respon stress terhadap pandemi mengakibatkan masyarakat membeli produk dalam jumlah besar dengan niat menimbunnya sebagai keperluan pribadi dan menghindari kekurangan di masa depan (Shou, Xiong, & Shen, 2011 dalam Shadiqi & dkk, 2021).
Pandemi COVID-19 berpengaruh pada pola hidup seseorang dari sebelum dan sesudah pandemi yang dijabarkan dalam 4 poin: Pertama, dari yang dapat mengatasi masalah dengan baik menjadi kurang mampu. Kedua, dari mengalami kecemasan/distress ringan menjadi meningkatnya intensitas dan frekuensi kecemasan. Ketiga, kondisi kesehatan jiwa muncul akibat pandemi. Keempat, mengalami penurunan kualitas kesehatan jiwa saat pandemi. Banyak hal terjadi kala dunia terjangkit pandemi sehingga mempengaruhi regulasi individu atas dirinya sendiri, terutama secara mental.
Dilansir dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), Presiden Joko Widodo telah menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 17 Tahun 2023 bahwa 22 Juni 2023 sebagai penetapan berakhirnya status pandemi COVID-19 di Indonesia dan diganti menjadi penyakit endemik. Walaupun sudah berakhir masa pandemi bukan berarti berakhir pula kecemasan di masyarakat.
Lalu upaya apa yang perlu kita lakukan dalam mengurangi kerisauan akibat dampak pandemi?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tuladenggi, data menunjukkan rata-rata masyarakat berada pada tingkat stress yang sedang dalam mengatasi pasca pandemi COVID-19. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya penurunan kualitas tidur dan gangguan emosional yang di sebabkan oleh faktor melakukan pekerjaan berlebih pasca pandemi, yang mana hal tersebut rentan memicu terjadinya penyakit (Tamara. Firmawati & Damansyah, 2023).
Hal ini selaras dengan pola hidup masyarakat di mana terdapat penurunan aktivitas fisik seperti olahraga dan lebih memilih berdiam diri di rumah. Mereka melakukan strategi mekanisme koping untuk mengatasi permasalahan stres masyarakat pasca pandemi. Mekanisme koping sebenarnya merupakan hal yang cukup lumrah dalam kehidupan masyarakat di mana dalam bertahan hidup kita dihadapi dengan berbagai permasalahan yang ada dan bagaimana cara kita mengatasinya merupakan salah satu dari mekanisme koping itu sendiri.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) mekanisme koping dapat di bedakan menjadi dua: 1) Adaptif, merupakan mekanisme koping yang mendukung adanya pembelajaran, pertumbuhan dan integrasi fungsi dalam pencapaian tujuan seperti membangun relasi, berolahraga, relaksasi dan regulasi diri; 2) Maladaptif, merupakan mekanisme koping dengan menghambat adanya pembelajaran, pertumbuhan, dan integrasi fungsi dalam mencapai tujuan seperti makan dengan jumlah banyak atau mogok makan, bekerja berlebih atau tidak melakukan pekerjaan apapun. Individu dalam melakukan mekanisme koping didasarkan pada faktor internal dan eksternal. Faktor internal berarti berasal dari individu itu sendiri, dimana adanya intensi individu atau pengalaman masa lalu, faktor eksternal dapat berupa dukungan orang terdekat.
Dalam dunia psikologi latar belakang munculnya perilaku tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti motivasi, persepsi, kepercayaan, sikap, dan proses belajar. Hal ini dapat diartikan bahwa banyak faktor yang dapat mendorong suatu perilaku muncul dalam diri individu, seperti koping diri dan mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan salah satu strategi bertahan hidup dengan cara pertahanan diri atas segala bentuk stressor (hal-hal yag menyebabkan stres). Mekanisme koping dapat dilakukan dari hal-hal kecil seperti berpikir positif, berbincang dengan orang sekitar, hingga tertawa.
Mekanisme koping dapat disebut sebagai pemulihan atas diri kita sendiri di-mana kita mulai memaafkan masa lalu dengan menghargai segala hal kecil di hidup kita dengan berpikir positif atau sekedar menjalin relasi baru di lingkungan baru. Era pasca pandemi menjadi lingkungan baru, serta era baru kita dalam menjalani hidup, bukan berarti meninggalkan kebiasaan baik yang telah rutin kita lakukan selama ini. Tetap patuhi protokol kesehatan, ciptakan kebiasaan sehat, jaga keseimbangan hidup atas pribadi, keluarga, maupun pekerjaan, jadikan hidup lebih bermakna dengan memanfaatkan peluang yang ada dan fokus pada diri, serta bermanfaat bagi orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kompaspedia.kompas.id. (2021, 23 Agustus). Ekonomi Dunia pada Masa Pandemi Covid-19: dari Dampak hingga Proyeksi Pertumbuhan 2021-2022. Diakses pada 29 Juli 2023.
Mulawarman, M., & Nurfitri, A. D. (2017). Perilaku pengguna media
sosial beserta implikasinya ditinjau dari perspektif psikologi sosial
terapan. Buletin Psikologi, 25(1), 36-44.
Krisdianto, M. A., & Mulyanti, M. (2015). Mekanisme koping dengan tingkat depresi pada mahasiswa tingkat akhir. JNKI (Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia) (Indonesian Journal of Nursing and Midwifery), 3(2), 71-76.
Tamara, R. H., Firmawati, F., & Damansyah, H. (2023). Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Stress Masyarakat Pasca Pandemi COVID 19 di Dusun IV Desa Tuladenggi. Journal of Educational Innovation and Public Health, 1(2), 114-125.
Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, penyebab dan penangannya. Journal
An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1-14.
Agustina, A., Yuniarti, Y., & Okhtiarini, D. (2021). Hubungan Tingkat Depresi dengan Kejadian Inkontinensia Urine pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Jurnal Terapung: Ilmu-Ilmu Sosial, 3(2), 1-12.
Setkab.go.id. (2023, 29 Juni). Inilah Keppres Penetapan Berakhirnya Status Pandemi COVID-19 di Indonesia. Diakses pada 29 Juli 2023.
Shadiqi, M. A., Hariati, R., Hasan, K. F. A., I’anah, N., & Al Istiqomah, W. (2021). Panic buying pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari perspektif psikologi. Jurnal Psikologi Sosial, 19(2), 131-141.
Kompas.id. (2022, 10 Oktober). Kesehatan Jiwa Indonesia Pascapandemi. Diakses pada 28 Juli 2023.
Komentar
Posting Komentar