TUJUH DISIPLIN BERPIKIR YANG WAJIB DILAKUKAN
Oleh : Dr. Bagus Riyono, M.A.
Psikolog
Disiplin berpikir adalah sesuatu yang wajib
dilakukan agar tidak mengalami kegagalan dalam memahami makna dan tujuan kita
dalam mengenal lebih dekat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dalam
Al-Qur’an, disiplin ini apabila disampaikan dengan nada negatif maka ditujukan
kepada kaum kafir dan fasik. Namun apabila disampaikan dengan nada positif maka
ditujukan untuk kaum beriman lagi berpikir.
- Nadhar
(memperhatikan, mempedulikan, menyadari) disebutkan sebanyak ±115 kali
dalam ayat Al-Qur’an dan salah satunya disebutkan dalam surat Al-Ghasiyah.
Saat kita menyatakan bahwa kita netral, mengartikan bahwa kita tidak
peduli, maka apapun fenomena sosial yang terjadi harus kita pedulikan.
Namun, kebanyakan dari kita bangga dengan netral, maka yang dianjurkan
dalam hal ini adalah “adil” dan ini akan sulit tanpa memperhatikan dan
peduli. Maka dari itu, perlu kita untuk memperhatikan fenomena sosial agar
tidak jatuh kedalam kesalahan. Kisah nabi Sulaiman tentang dua orang
ibu yang merebutkan satu bayi menjelaskan sikap nabi Sulaiman sebelum
membelah bayi itu menjadi dua adalah sikap netral, kemudian setelah
mengetahui jawaban atas kedua ibu tersebut barulah nabi Sulaiman menyadari
dan mempedulikan. Inilah model sikap adil yang mendahulukan kebenaran.
Adanya proses berpikir dalam hal ini menjadikannya penyebab salah satu
disiplin berpikir yang wajib dilakukan.
- Tadzkir
(mengingat) disebutkan ±268 kali dalam ayat Al-Qur’an. Dalam disiplin
berpikir, mengingat artinya memunculkan kembali sejarah (apa yang telah
kita lewati) karena apa yang kita lakukan di masa lalu adalah suatu
pembelajaran. Segala sesuatu yang kita lakukan akan berdampak pada
kehidupan. Dalam bahasa psikologi disebut “self full feeling
privacy” dimana itu adalah sedikit keterkaitan antara apa yang
kita pikirkan adalah apa yang kita dapatkan. Secara sederhana apa yang
membuatmu senang dan sedih disebabkan perilakumu sendiri. W.S Rendra
menyimpulkan puisi terakhirnya dimana “ketika langit dan bumi
bersatu, anugerah dan bencana sama saja” hal yang dimaksud adalah
Allah tidak sedang menganiaya diri kita tapi kitalah yang menganiaya diri
sendiri, itulah sebab dari kesedihan muncul dan berkaitan dengan mengingat
masa lalu.
- Tafakkur
(berfikir, menganalisis, menguraikan) dalam bahasa psikologi disebut
skema. Orang yang malas berfikir tidak akan memahami apa yang terjadi,
ketika terdapat masalah yang kompleks hanya orang yang biasa bertafakkur
yang dapat menguraikannya.
- Tadabbur
(mengamati, mencermati) tidak hanya membaca atau melihat namun juga
memahami secara mendalam. Dalam perspektif ini, pandangan mulai diarahkan
kedepan sehingga akan menyeimbangkan tadzkir (mengingat
kebelakang). Maka Al-Qur’an adalah bacaan keilmuan yang lengkap disebabkan
dua disiplin berpikir ini.
- Tafaqquh
(memahami sedikit demi sedikit) masih dalam rangka mengurai namun lebih
mendalam lagi untuk memahami, menggali, menganalisis, dan mempelajari
secara mendalam dengan instrument yang lebih tajam. Tafaqquh diibaratkan
dengan mempelajari dengan alat sehingga ada informasi lebih banyak untuk
didapat. Uniknya, orang yang tidak tafaqquh akan
menjadi munafik. Tafaqquh dapat diartikan dengan mempelajari
sampai keakar-akarnya, dan orang munafik tidak akan pernah belajar sampai
sini karena tidak bersungguh-sungguh dalam beragama.
- Ta’aqqul
(mengkait-kaitkan, merekonstruksi) “Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?”
Banyak orang sesat karena berangan-angan hanya berdasarkan 1 ayat. Harus
paham iman dan tawakkal. Mereka yang mencoba menggunakan daya akalnya
dengan baik pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya,
sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. Menurut Ibrahim
Madhkur, akal (Aql) merupakan potensi rohani untuk
membedakan yang haq dan yang bathil. Dalam
paradigma psikoanalis disebut dengan superego.
- Muhith
(menyeluruh, komprehensif), semua sisi harus
kita pahami jangan hanya yang berkepentingan dengan kita. Muslim sejati
tidak mengklaim dirinya benar karena kebenaran milik Allah. Berusaha
sekeras mungkin mendekati kebenaran. Seorang muslim itu autentik (tidak
jaim/apa adanya). Ayat: “Kalau benar datang nya dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kalau
salah datangnya dari saya” hal ini membuat muslim terus belajar.
Dengan semua kemampuan kita, segala informasi
yang didapatkan terbuka bagi informasi baru. Islam mengajarkan kita bahwa
sesungguhnya ada hal-hal yang belum kita eksplor, ilmu Allah tidak bisa kita
kuasai, ilmu kita terbatas. Kita tidak pernah sempurna, harus belajar dari
buaian sampai keliang lahat. Jangan merasa hal-hal yang dikuasai sudah cukup
tapi ada ilmu-ilmu lain. Orang yang merasa cukup dilaknat. Iqra' tidak
boleh berhenti. Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu mengajarkan apa yang tidak kita ketahui.
Komentar
Posting Komentar