Apa yang Dicari Manusia dalam Hidup ini?
Apa yang sebenarnya dicari oleh manusia dalam hidup ini?
Pada seorang nenek yang berusia 67 tahun berinisial SA, hal yang dicarinya
bukan kekayaan atau ketenaran, melainkan keadilan. Sebuah keadilan yang kini
terasa mahal di tengah sistem sosial dan hukum yang tampaknya hanya berpihak
pada yang kuat. Portal berita Detik.com
mendokumentasikan momen memilukan ketika nenek SA dipukuli hingga bersimbah
darah oleh petugas pasar dan warga karena dituduh mencuri 5 kg bawang. Tubuhnya
lemah, berdarah, dan tertatih. Sementara itu, Tempo mengangkat kasus nenek Asyani yang divonis satu tahun tiga
bulan penjara hanya karena dituduh mencuri tujuh batang kayu jati milik
Perhutani.
Namun bandingkan dengan para koruptor yang merampok miliaran
rupiah dari negara. Mereka malah bisa mendapat pengurangan hukuman hanya karena
“berperilaku baik” selama di persidangan. Konteksnya jauh berbeda. Nenek-nenek
itu mencuri karena kebutuhan mendesak, karena kelaparan dan kemiskinan.
Sedangkan para koruptor mencuri karena tamak, meski hidup mereka bergelimang
harta.
Psikologi menjelaskan perbedaan sudut pandang ini melalui
teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg. Masyarakat yang memukuli nenek SA
mencerminkan moralitas prakonvensional: melihat tindakan buruk harus dihukum,
tanpa mempertimbangkan motif dan kondisi. Sementara pengadilan yang menghukum
nenek Asyani atau memberi remisi kepada koruptor berada pada level
konvensional: sekadar mengikuti hukum formal, tanpa mempertanyakan substansi
keadilannya.
Namun, dalam kerangka Psikologi Islam, pendekatan semacam
ini tidak cukup. Psikologi Islam menempatkan keadilan pada tahap
pascakonvensional, yaitu dengan mempertimbangkan konteks, kasih sayang, dan
sisi kemanusiaan dari setiap kasus. Hukum dalam Islam bukan hanya soal teks,
tapi juga tentang maqashid syariah,
nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan dan martabat manusia.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menangguhkan hukuman potong
tangan bagi pencuri pada masa paceklik. Mengapa? Karena ia memahami bahwa
menerapkan hukum tanpa kepekaan sosial justru bisa menjadi ketidakadilan yang
baru. Beliau memilih prinsip: jangan menghukum orang karena lapar.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita telah cukup dewasa
secara moral dan spiritual untuk melihat hukum sebagai jalan kasih dan keadilan
— bukan sekadar alat balas dendam? Jika tidak, barangkali kita masih belum
selesai menjadi manusia.
.
Sumber berita :
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-suluttenggomalut/baca-artikel/14847/Berlaku-Sopan-di-Pengadilan-Ringankan-Hukuman-Ini-Faktanya.html
Komentar
Posting Komentar