PENGANTAR PSIKOLOGI ISLAM
Oleh : Muh. Arif Hidayat
Pada tahun 1879 seorang ilmuwan berkebangsaan
jerman melakukan eksperimen psikologi di laboraturiumnya yang terletak di
Universitas Leipzig. Dikemudian hari
ilmuwan tersebut dianggap sebagai penemu psikologi modern dan dijuluki sebagai
“Bapak Psikologi Eksperimen”. Penemu psikologi modern tersebut dikenal dengan
nama Wilhelm Wundt. Dewasa ini ilmu psikologi telah mengalami perkembanganyang
begitu pesat. Ilmu yang berfokus pada jiwa dan perilaku manusia ini telah
berkontribusi dan mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Perkembangan
ilmu psikolgi yang begitu pesat juga diikuti oleh perkembangan ilmu-ilmu lain,
terutama di eropa dan amerika. Tidak bisa dipungkiri saat ini kiblat ilmu
pengetahuan (termasuk psikologi) ada pada bangsa barat (eropa dan amerika).
Perkembangan ilmu pengatahuan di barat yang
bermula dari lepasnya ilmu pengatahuan dari kerangka agama pada masa yang dikenal dengan rennaisence (pencerahan), dimana pada saat itu doktrin
materialisme, emprisme dan rasionalisme merupakan suatu doktrin yang populer
dalam khazanah kelilmuan barat. Munculnya gerakan keilmuan yang “sekuler”
merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap gereja yang pada masa itu memiliki
kewenangan yanag tinggi dalam mengatur interaksi manusia termasuk mengawasi perkembangan
ilmu pengetahuan agar tidak melenceng dari doktrin-doktrin gereja itu sendiri.
Seperti hal-halnya ilmu-ilmu lain, psikologi
yang berkembang di barat tidak akan terlepas dari pengaruh atau kerangka pikir
dari masyarakat barat. Nilai-nilai yang dibangun tentu dipengaruhi oleh
kebudayaan barat itu sendiri. teori-teori psikologi yang berkembang dari waktu
ke waktu setidaknya bermuara pada tiga aliran utama yaitu, psikoanalisis,
behaviorisme dan humanisme. Merupakan suatu keniscayaan bahwa pada tiga aliran
utama tersebut banyak ditemukan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip islam yang bermuara pada al-quran dan as-sunnah. Aliran
psikoanalisis misalnya, melalui tokohnya yang terkenal Sigmund Freud yang berpendapat bahwa manusia
adalah makhluk hidup yang berperilaku atas dorongan-dorongan (id) dan
menganggap bahwa masa lalu merupakan masa yang sangat krusial bagi kehidupan
kedepannya. Dalam pandangan Freud, satu-satunya dorongan id yang mendorong
kehidupan manusia merupakan dorongan libido seksualita. Dalam libido
seksualita, seseoranga berusaha mempertahankan eksistensinya karena bermaksud
memenuhi hasrat seksualnya. Teori ini akan mengalami kesulitan untuk
menjelaskan kebutuhan seseorang akan aktualisasi diri atau juga kebutuhan untuk
beragama, teori ini tak mampu menjelaskan tentang dorongan yang dimiliki muslim
untuk mendapat ridho Allah SWT (Ancok, 2011). Mengenai agama, Freud berpendapat
dalam bukunya Totem and Taboo (1913)
bahwa tuhan adalah refleksi dari oedipus
complex kebencian kepada ayah yang
dimanifestasikan sebagai ketakutan kepada tuhan. Lebih lanjut dalam buku The Future Of An Illusion (1927), Freud mengungkapkan
bawha agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuag ilusi, yakni
kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan (wishfulfillment). Manusia lari kepada agama disebabkan ketidak
berdayaannya menghadapi bencana. Jadi
menurut Freud seorang yang beragama merupakan orang yang sedang berilusi.
Aliran lain seperti behaviorisme yang memandang bahwa manusia dibentuk
dan berkembang secara penuh dipengaruhi oleh lingkungannya. Manusia tak ubahnya
seperti mesin yang dicetak oleh pabrik yang dinamakan lingkungan. Selain itu
behavior juga memandang bahwa manusia tergerak untuk berperilaku karena
memperoleh akibat. Skinner seorang tokoh behaviorisme menyebutnya dengan operant conditioning. Manusia menurut Skinner berbuat sesuatu dalam
lingkungannya untuk mendapatkan akibat, entah untuk mendapatkan pemenuhan
kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang kurang
menyenangkan. Tokoh lain yang juga merupakan pendiri aliran behaviorisme,Watson
pernah mengatakan “ berikan kepadaku selusin anak yang sehat, aku akan membuat
mereka seperti yang aku kehendaki, yaitu menjadi dokter, pemberani,bahkan
menjadi penjahat atau pemalu (Sarwono, 1997). Konsep Tuhan tidak masuk sama
sekali dalam aliran behaviorisme. Ancok (1994) berpendapat bahwa dengan
pandangannya yang radikal seperti itu, Watson sering dipandang melecehkan
manusia, dan terutama ia mengabaikan kekuasaan tuhan atas diri manusia. Aliran
terakhir yakni aliran humanisme dianggap merupakan satu aliran yang mengakui
eksistensi agama. Namun menurut Ancok apabila kita telaah lebih lanjut, akan
kita temui begitu banyak kejanggalan. Pandangan optimistik dan bahkan terlampau
optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia
dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play god (peran tuhan).
Lebih lajut silahkan baca tulisan Hamid Fahmi Zarkaysi tentang Humanisme.
Psikologi dalam Islam
Jika kita kembalikan ilmu psikologi secara etimologis,maka akan kita
dapati bahwa arti dari psikologi adalah ilmu jiwa (psyche : jiwa, logos :
ilmu). Dalam khasanah keilmuan islam, terutama pada masa kejayaan keillmuan
islam (pada masa Abbasiyah) akan kita dapati samudra keilmuan yang begitu luas
dan dalam yang membahas mengenai permasalahan jiwa. Imam Alghazali seorang
ulama yang juga mendalami tasawuf menulis sebuah kitab Ihya Ulmuddin yang
banyak membahas mengenai tazkiyyatun nafs. Dr Syamsuddin Arif dalam artikelnya
tentang psikologi islam menerangkan bahwa pembahasan jiwa dalam islam dilakukan
melalui tiga pendekatan, pendekatan
pertama pembahasan tersebut dikupas melalui tema-tema universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang,
fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah,
mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir,
ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati
menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang
selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su), yang senantiasa mengecam
(al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutmainnah). Perspektif ini diwakili
oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya
ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang
memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan
merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur. Kedua, dengan pendekatan falsafi. Dimana berbagai masalah jiwa
dibahas menurut pandangan filsuf Yunani kuno. Mulai dari Miskawayh yang menulis
kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani
hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut mereka, jiwa manusia
adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Dalam salah
satu kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah
seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap
sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql
al-qudsi). Ketiga, ialah pendekatan
Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada pengalaman
spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang
terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan
eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs
karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau terangkan kiat-kiat
mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur. Menurut Abu Thalib
al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang
baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah
sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati).
Oleh karena itu pembahasan “psikologi” dalam islam
bukanlah hal yang baru. Beberapa konsep yang dikemukakan para ulama pada
masa-masa silam perlu dikaji kembali untuk kemudian dirumuskan kembali menjadi
satu displin ilmu yang mampu menjawab beragam permasalahan manusia mengenai
jiwa secara lebih islami. Penguasaan terhadap ilmu psikologi kekinian
(psikologi barat) tetap harus dilakukan sebab seperti di awal sudah diungkapkan
bahwa perkembangan ilmu saat ini memang berkiblat di barat. Namum ilmu-ilmu
yang berasal dari barat tersebut harus melalui beberapa proses islamisasi
seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi, seorang tokoh pencetus islamisasi
ilmu. Terakhir, sebagai seorang akademisi muslim hendaknya kita ambil bagian
dalam pergulatan keilmuan saat ini dan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengembalikan kejayaan islam dalam bidang keilmuan.
Ancok dan Suroso. (2011). Psikologi Islami. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Dr. Syamsuddin Arif. Psikologi dalam Islam
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1984. Pengantar Umum
Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang
Komentar
Posting Komentar